ANALISIS
JURNAL
Tema :
Kualitas dan Produktifitas Kerja
Judul :
Melihat
perbedaan kelelahan (fatigue)
antara shift
pagi
dan malam pada karyawan di perusahaan produksi.
A.
Latar Belakang Masalah
Menghasilkan
suatu produk dan jasa yang dapat dipasarkan dan dapat mencapai tujuan
sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan, maka perusahaan
tersebut harus beroperasi dengan cara mengkombinasikan antara sumber
daya-sumber daya yang ada. Sumber daya tersebut bisa berupa modal,
manusia, dan mesin. Apabila semua sumber daya tersebut dapat dikelola
dengan baik maka akan dapat mempermudah perusahaan tersebut dalam
mencapai tujuannya.
Menurut
Ekowati (2009) salah satu peran yang dimainkan departemen sumberdaya
manusia dalam mencapai tujuan tersebut adalah “ employee
champion “,
dimana para manajer sumber daya manusia melakukan pengelolaan
kontribusi bagi karyawannya. Dalam paradigma yang memandang sumber
daya manusia sebagai modal intelektual organisasi, departemen sumber
daya manusia memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan
meningkatkan nilai sumber daya manusia. Manajer sumber daya manusia
perlu mengembangkan program yang mampu mengkaitkan kontribusi
karyawan dengan kesuksesan organisasi. Untuk itu perlu diciptakan
integrasi yang kuat antara karyawan dan organisasi.
Menurut
Paul F. Buller (dalam Ekowati, 2009) dikatakan bahwa kesuksesan
organisasi dapat dilihat melalui partnership
yang
baik antara sumber daya
manusia dan perencanaan strategis yang dilakukan oleh organisasi.
Implikasi peran departemen sumber daya manusia sebagai pejuang
karyawan dapat ditunjukkan dengan menciptakan kualitas kehidupan
kerja yang mendorong karyawan memaksimalkan kontribusinya pada
pencapaian sasaran organisasi. Hal ini dilakukan dengan membangun
berbagai praktik pengelolaan yang memberikan kesempatan pengembangan
secara adil bagi setiap individu yang bekerja. Adapun efektivitas
dari program ini yaitu mampu mengurangi permasalahan yang dihadapi
oleh sebagian organisasi saat ini.
Akan
tetapi, dalam prakteknya belum banyak perusahaan menerapkan kualitas
kehidupan kerja karyawan sebagai salah satu misinya dalam
mengembangkan sumber daya. Pihak manajemen masih lebih memperhatikan
kepentingan dalam pencapaian tujuan perusahaan dibandingkan
kepentingan karyawan (Kossen, 1986). Pada prinsipnya kualitas
kehidupan kerja karyawan perlu diciptakan oleh organisasi untuk
memberikan keseimbangan pada karyawan dalam melaksanakan pekerjaan
dan kehidupan pribadi. Program kualitas kehidupan kerja karyawan ini
dilakukan karena beberapa alasan yaitu organisasi memiliki tujuan
untuk memikat, memotivasi dan mempertahankan karyawan yang memiliki
kompetensi sesuai harapan.
Kualitas
kehidupan kerja merupakan terminologi yang digunakan untuk
merefleksikan perasaan pekerja terhadap hubungan antara pekerjaan dan
lingkungan pekerjaan. Menurut Jewell dan Siegel (1998) lingkungan
kerja yang mendukung dapat meningkatkan kinerja karyawan. Lingkungan
kerja yang kondusif tersebut antara lain suasana kerja yang nyaman
dan hubungan atasan dan bawahan
yang baik. Selain lingkungan yang kondusif, ada berbagai macam
komponen dari kesejahteraan karyawan juga yang secara umum sangat
penting diperhatikan yaitu lingkungan kerja yang aman dan sehat,
hubungan yang baik dengan supervisor, dukungan dan persahabatan rekan
sekerja, kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu,
derajat kepuasan dengan situasi kerja dan kesempatan untuk bertumbuh
dan pengembangan diri jika diperlukan. Istilah yang digunakan untuk
menjelaskan hasil interaksi individu, pekerjaan, organisasi global
dan multidimensi ini adalah kualitas kehidupan kerja.
Kualitas
kehidupan kerja merupakan tingkat kepuasan, motivasi, keterlibatan,
dan pengalaman komitmen perseorangan mengenai kehidupan mereka dalam
bekerja. Dimana filosofi ini bertujuan meningkatkan martabat
karyawan, memperkenalkan perubahan budaya, memberikan kesempatan
pertumbuhan dan pengembangan (Gibson dalam Ekowati, 2009). Menrut Lau
& May (1998) kualitas kehidupan kerja didefinisikan sebagai
strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan
dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan
organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Sedangkan menurut
Walton (dalam Kossen, 1986) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja
sebagai persepsi karyawan terhadap suasana dan pengalaman pekerja di
tempat kerja mereka.
Suasana
pekerjaan yang dimaksudkan adalah berdasarkan kepada delapan aspek,
yaitu kompensasi yang mencukupi dan adil, kondisi-kondisi kerja yang
aman dan sehat, kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan
kapasitas manusia, peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan,
integrasi sosial dalam
organisasi pekerjaan, hak-hak karyawan, pekerja dan ruang hidup
secara keseluruhan, dan tanggung jawab sosial organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa pentingnya suatu penghargaan kepada sumber daya
manusia di lingkungan kerja (Luthan dalam Ekowati, 2009). Sehingga
penghargaan yang diberikan oleh perusahaan tersebut akan membentuk
persepsi karyawan menjadi lebih baik terhadap rasa aman, rasa puas,
dan kesempatan untuk bertumbuh di dalam pekerjaannya (Wayne dalam
Ekowati, 2009).
Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) menetapkan bahwa ”Setiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Menurut Dr. Muznni Tambusai (dalam Tjandra, 2002), maksud dari
pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah pekerjaan yang bersifat
manusiawi, yang memungkinkan karyawan berada dalam kondisi selamat
dan sehat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Data
menunjukkan bahwa kasus kecelakaan kerja yang mengalami kenaikan yang
terjadi di Jakarta, sejak 2003 sampai triwulan pertama 2004 tercatat
terjadi 20.937 kasus kecelakaan kerja, atau 49 kasus perhari. Dari
jumlah itu, 5 korban di antaranya meninggal dunia. Namun sampai
Agustus 2004, jumlah kecelakaan kerja menggelembung hingga 86.880
kasus, atau 143 kasus perhari. (Suara Merdeka, 30 Nov 2005. hal 5).
Menurut perkiraan ILO (2004), setiap tahun di seluruh dunia 2 juta
orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari jumlah ini,
354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun
ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160
juta yang terkena penyakit akibat kerja.
Awal
tahun 2007, angka kecelakaan kerja di Indonesia menempati peringkat
52 dari 53 negara di dunia. Data 2007 menyatakan, jumlah kecelakaan
kerja sebanyak 65.474 kasus dengan meninggal 1.451 orang, cacat tetap
5.326 orang dan sembuh tanpa cacat 58.697 orang. Tingkat pelanggaran
peraturan perundangan ketenagakerjaan tahun 2007 sebanyak 21.386
pelanggaran
(http://koranindonesia.com/2008/04/01/65474-kecelakaan-kerja-terjadi-sepanjang
-2007/).
Menurut data PT Jamsostek, pekerja yang meninggal dunia karena
kecelakaan pada tahun 2008 mencapai 2.124 orang. Jumlah pekerja yang
meninggal itu merupakan peningkatan dari tahun 2007 yang mencapai
1.883 orang dan pada tahun 2006 sebanyak 1.597 orang. Sedangkan pada
tahun 2005 mencapai 2.045 orang. Sementara angka kasus kecelakaannya
tertinggi dalam empat tahun terakhir, yakni 99.023 pekerja. Kasus
kecelakaan kerja pada tahun 2008 sebanyak 93.823 orang, dengan jumlah
pekerja yang sembuh 85.090 orang, sedangkan yang cacat total 44
orang. Selain itu, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Depnakertrans), sepanjang tahun 2009 telah terjadi
sebanyak 54.398 kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Angka tersebut
menurun sejak 2007 yang sempat mencapai 83.714 kasus dan pada 2008
sebanyak 58.600 kasus.
Meskipun
angka kasus kecelakan kerja terus menurun hingga tahun 2009, namun
fakta ini menunjukkan bahwa resiko pekerja atau individu dalam
melakukan tugas mereka “terancam” keselamatan dan kesehatannya.
Mengamati data kecelakaan di atas terlihat bahwa Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) pada karyawan belum berjalan dengan baik. Jurnal
Psikologi tahun 2001 menyatakan
bahwa dengan terjaminnya K3 oleh perusahaan maka ini akan menciptakan
rasa nyaman dan rasa memiliki (sense
of belonging)
di perusahaan tersebut. Silalahi (1995) mengatakan bahwa program K3
selain untuk mengurangi dan mencegah kecelakaan serta penyakit akibat
kerja, juga bertujuan untuk menciptakan kondisi kerja yang aman dan
sehat. Kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat ini tergolong dalam
beberapa aspek pada kualitas kehidupan kerja, dimana individu tidak
ditempatkan kepada keadaan yang dapat membahayakan fisik dan
kesehatan mereka, waktu kerja mereka juga sesuai dengan jadwal yang
telah ditetapkan. Begitu juga umur adalah sesuai dengan tugas yang
dipertanggungjawabkan kepada mereka (Walton dalam Kossen, 1986). Oleh
karena itu, aspek ini harus menjadi perhatian bagi setiap perusahaan
agar meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan.
Keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan
suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah
mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Ditinjau dari segi
keilmuan, K3 dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan
penerapannya guna mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja
dan penyakit yang disebabkan oleh pekerja di lingkungan kerja
(Manulang, 1990).
Suma’mur
(1993) mengatakan kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu
kesehatan beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun
sosial, dengan usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-penyakit
atau gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor
pekerjaan dan lingkungan kerja
serta terhadap penyakit umum. Sedangkan keselamatan kerja bertalian
dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya,
landasan tempat kerja, dan lingkungan serta cara-cara melakukan
pekerjaan, dengan kata lain keselamatan adalah kemampuan untuk
mengidentifikasikan dan menghilangkan atau mengontrol resiko yang
tidak bisa diterima.
Hal
utama yang membuat karyawan tidak nemerima resiko dalam pekerjaannya
adalah tingkat bahaya yang akan diterima oleh karyawan tersebut,
karena bahaya merupakan suatu keadaan yang berpotensi untuk
terjadinya kecelakaan dan kerugian. Menurut Setyawati & Djati
(2008) secara umum terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu
(1) tindakan atau perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan
(unsafe
human acts)
dan (2) keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe
condition).
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor manusia
menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya kecelakaan
kerja yaitu antara 80-85% (Suma’mur, 1993). Salah satu faktor
penyebab utama kecelakaan kerja yang disebabkan oleh manusia adalah
stress
dan
kelelahan (fatigue).
Kelelahan kerja memberi kontribusi 50% terhadap terjadinya kecelakaan
kerja (Setyawati, 2007).
Menurut
Nurmianto (2005), kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan
menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan
memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Maka
dari itu, perusahaan harus lebih berhati-hati akan terjadinya
kelelahan bagi karyawan. Kata kelelahan (fatigue)
menunjukkan keadaan yang berbeda–beda, tetapi semuanya berakibat
kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur,
1996).
Kelelahan juga merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh
menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga terjadilah pemulihan
(Grandjen, 1988).
ILO
(2003) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
kelelahan kerja antara lain adanya monotoni pekerjaan; adanya
intensitas dan durasi kerja mental serta fisik yang tidak
proporsional; faktor lingkungan kerja, cuaca dan kebisingan; faktor
mental seperti tanggung jawab, ketegangan dan adanya konflik-konflik;
serta adanya penyakit-penyakit, kesakitan dan nutrisi yang tidak
memadai. Sedangkan Grandjen (1988) mengatakan kelelahan kerja dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan otot (muscular
fatigue)
dan kelelahan umum (general
fatigue).
Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar
biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena
munculnya gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk
bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya terasa berat dan
merasa “ngantuk”. Kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya
kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni, intensitas dan
lamanya kerja fisik, keadaan dirumah, sebab- sebab mental, status
kesehatan dan keadaan gizi.
Sesuai
penjelasan di atas Budiono, dkk (2003) mengatakan bahwa kelelahan
merupakan suatu perasaan yang bersifat subyektif sehingga mengarah
pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan.
Perasaan yang bersifat subyektif merupakan suatu perasaan (psikis)
yang tidak dapat disamakan dengan gejala mengenal, pengamatan,
fikiran dan sebagainya. Oleh sebab itu, perasaan
erat hubungannya dengan pribadi seseorang, maka tanggapan perasaan
seseorang terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang
lain terhadap hal yang sama. Gejala perasaan tidak berdiri sendiri,
melainkan bersangkut paut dengan gejala-gejala jiwa yang lain bahkan
perasaan dengan keadaan tubuh juga merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan (Ahmadi, 2003).
Hal
ini dipertegas oleh Grandjen (1988) yang mengatakan bahwa kelelahan
disebabkan oleh faktor fisik (fisiologis) dan tekanan mental
(psikologis). Kelelahan fisiologis yaitu kelelahan yang disebabkan
oleh faktor lingkungan (fisik) ditempat kerja, antara lain:
kebisingan, suhu. Sedangkan kelelahan psikologis disebabkan oleh
faktor psikologis (konflik- konflik mental), monotoni pekerjaan,
bekerja karena terpaksa, pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk. Sedangkan
menurut Suma’mur (1996), kelelahan yang disebabkan tekanan mental
yaitu karena adanya perasaan lelah yang dialami oleh karyawan selama
mereka bekerja. Keadaan dan perasaan lelah yang timbul dikarenakan
adanya reaksi fungsional dari pusat kesadaran (cortex
cerebri)
yang atas pengaruh dua sistem antagonistic
yaitu
sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Apabila
sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka keadaan
orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya,
apabila sistem penghambat lebih kuat dari sistem penggerak maka orang
akan mengalami kelelahan. Itulah sebabnya, seseorang yang sedang
lelah dapat melakukan aktivasi secara tiba-tiba apabila mengalami
sesuatu peristiwa yang tidak terduga (ketegangan emosi). Demikian
juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan
walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena
sistem penghambat lebih kuat dari pada sistem penggerak (Satalaksana,
1979). Jika hal ini terjadi maka para karyawan akan rentan mengalami
kecelakaan di tempat kerja.
Wicken,
et al. (2004) mengatakan bahwa gangguan tidur (sleep
distruption) dapat
menyebabkan kelelahan, yang antara lain dapat dipengaruhi oleh
kekurangan waktu tidur dan gangguan pada circadian
rhythms akibat
jet
lag atau
shift
kerja.
Menurut Nurmianto (2005) kelelahan circadian
yang
disebabkan oleh irama kerja siang atau malam dapat mengakibatkan
fungsi tubuh bervariasi baik pada manusia maupun hewan (berfluktuasi
dalam perputaran 24 jam, yang disebut juga sebagai circadian
rhythm).
Circadian
dalam
fungsi tubuh menunjukkan peningkatan pada siang hari dan menurun pada
malam hari, seperti suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, volume
pernafasan, produksi adrenalin, kemampuan mental, ekskresi, dan
kapasitas fisik (Grandjean, 1988). Fungsi tubuh yang mengalami
gangguan dapat mempengaruhi perasaan seseorang. Hal ini dipertegas
oleh Ahmadi (2003) bahwa respon-respon tubuh terhadap perasaan dapat
terwujud dalam bentuk mimik wajah, pantomimik, dan gejala pada tubuh
seperti denyut jantung bertambah cepat, muka pucat, dan lain
sebagainya. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul berupa
keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk
kerja. Ini diakibatkan oleh menurunnya kinerja jasmani dan rohani
yang dialami oleh karyawan (Budiono, dkk., 2003).
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja pada shift
malam
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja
dibandingkan mereka yang bekerja pada shift
normal
(shift
pagi).
Sharpe (2007) menyatakan bahwa pekerja pada shift
malam
memiliki resiko 28% lebih tinggi mengalami cidera atau kecelakaan.
Josling (dalam Nurmianto, 2005) dalam artikelnya yang berjudul ‘Shift
Work and Ill-Health’
mempertegas anggapan tersebut dengan menyebutkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh The
Circadian Learning Center di
Amerika Serikat yang menyatakan bahwa para karyawan shift,
terutama yang bekerja di malam hari, dapat terkena beberapa
permasalah kesehatan, antara lain gangguan tidur, kelelahan, penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan gastrointestinal.
Segala gangguan kesehatan tersebut jika ditambah dengan tekanan
stress
yang
besar dapat secara otomatis meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan
pada para karyawan shift
malam.
Cara
mengatasi permasalahan ini, perusahaan harus merancang shift
kerja
dengan sedemikianrupa agar mengurangi terjadinya kecelakaan kerja
pada karyawan. Biasanya perusahaan yang berjalan secara kontiniu yang
menerapkan aturan shift
kerja.
Sistem shift
merupakan
suatu sistem pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan
keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan
(Muchinsky, 1997). Sedangkan menurut Landy (dalam Muchinsky, 1997),
jadwal kerja shift
adalah
adanya pengalihan tugas atau pekerjaan dari satu kelompok karyawan
pada kelompok karyawan yang lain. Pigors dan Myers (dalam Aamodt,
1991), mengatakan shift
kerja
adalah suatu alternatif
untuk memperpanjang jam kerja bagi kehadiran karyawan bila itu
dibutuhkan untuk meningkatkan hasil produksi.
Kesimpulan
dari beberapa definisi di atas adalah, bahwa shift
kerja
merupakan sistem pengaturan waktu kerja yang memungkinkan karyawan
berpindah dari satu waktu ke waktu yang lain setelah periode
tertentu, yaitu dengan cara bergantian antara kelompok kerja satu
dengan kelompok kerja yang lain sehingga memberi peluang untuk
memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan
pekerjaan.
Pelaksanaan
dari shift
itu
sendiri adalah dengan cara bergantian, yakni karyawan pada periode
terntentu bergantian dengan karyawan pada periode berikutnya untuk
melakukan pekerjaan yang sama. Karyawan yang bekerja pada waktu
normal digunakan istilah diurnal,
yaitu individu atau karyawan yang selalu aktif pada waktu siang hari
atau setiap hari. Sedangkan karyawan yang bekerja pada waktu malam
hari digunakan istilah nocturnal,
yaitu individu atau karyawan yang bekerja atau aktif pada malam hari
dan istirahat pada siang hari (Riggio, 1990).
Menurut
Pribadi (dalam Nurmianto, 2005) adapun hal yang harus diperhatikan
dan diingat dalam merancang shift
kerja.
Hal-hal tersebut diantaranya adalah waktu berkurangnya tidur atau
istirahat hendaknya ditekan sekecil mungkin sehingga dapat
meminimumkan kelelahan, serta mempertimbangkan penyediaan waktu
sebanyak mungkin untuk kehidupan keluarga dan kontak sosial. Hal ini
kembali menegaskan bahwa shift
kerja
yang kurang efektif dapat menyebabkan kelelahan bagi karyawan. Pada
penelitian Lientje Setyawati Maurits dan Imam Djati
Widodo yang berjudul ‘Faktor dan Penjadwalan Shift
Kerja’,
mengatakan bahwa kecelakaan dan kesehatan kerja selalu akan
berhubungan dengan kelelahan, shift
dan
waktu kerja.
Dari
banyaknya akibat negatif dari shift
kerja,
khususnya shift
di
malam hari, maka berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan,
penelitian ini akan melihat perbedaan antara shift
pagi
dan malam terhadap kelelahan pada karyawan di perusahaan produksi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti
merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dari penelitian ini
yaitu, apakah ada perbedaan kelelahan (fatigue)
antara shift
pagi
dan shift
malam
pada karyawan di perusahaan produksi?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk melihat perbedaan kelelahan (fatigue)
antara shift
pagi
dan malam pada karyawan di perusahaan produksi.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
a)
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan
ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi
terutama dalam bidang Quality
of Work Life mengenai
pengaruh
shift
work terhadap
kelelahan (fatigue)
pada karyawan di perusahaan produksi.
b)
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti mengenai Quality
of Work Life sebagai
referensi teoritis dan empiris.
c)
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian diharapkan dapat menambah
teknik pengukuran konsep kelelahan (fatigue).
2.
Manfaat Praktis
a)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
perbedaan shift
pagi
dan malam terhadap kelelahan (fatigue),
sehingga hal ini dapat menjadi informasi baru bagi para pekerja di
Indonesia tentang bahaya shift
work bagi
kelelahan mental pekerja.
b)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
baru bagi perusahaan, khususnya dalam melakukan perancangan Quality
of Work Life pada
karyawan.
c) Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi
perusahaan agar lebih memperhatikan Higene
Perusahaan
dan Kesehatan Kerja bagi karyawan, dan diharapkan dengan adanya
hasil penelitian ini maka terbentuklah suatu kebijakan baru bagi
permasalahan ini.
Nama :
Poetry Firstariana
NPM/Kelas :
35210346/3DD01
TUGAS
JURNAL (METODE RISET BISNIS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar